efektivitas pelaksanaan Proyek Nasional Agraria (PRONA) di Kantor Pertanahan Kabupaten Beleleng
Bagi negara agraris, seperti
halnya negara Indonesia, tanah merupakan barang yang amat vital. Setiap
kegiatan yang dilakukan di negara itu, baik oleh seorang warga negara
perorangan, sekelompok orang, suatu badan hukum ataupun oleh Pemerintah pasti
melibatkan soal tanah. Dengan tanah dan di atas tanah itu semua kegiatan dilakukan
oleh Bangsa Indonesia.
Di dalam amandemen IV Undang-Undang Dasar
1945 yaitu pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : ”Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Jadi jelaslah bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya sangat penting sekali di dalam
menunjang pembangunan nasional yaitu untuk membangun masyarakat yang
kehidupannya bercorak agraris.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bagi negara agraris, seperti
halnya negara Indonesia, tanah merupakan barang yang amat vital. Setiap
kegiatan yang dilakukan di negara itu, baik oleh seorang warga negara
perorangan, sekelompok orang, suatu badan hukum ataupun oleh Pemerintah pasti
melibatkan soal tanah. Dengan tanah dan di atas tanah itu semua kegiatan dilakukan
oleh Bangsa Indonesia.
Di dalam amandemen IV Undang-Undang Dasar
1945 yaitu pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : ”Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Jadi jelaslah bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya sangat penting sekali di dalam
menunjang pembangunan nasional yaitu untuk membangun masyarakat yang
kehidupannya bercorak agraris.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka disusunlah Undang-Undang No.5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) untuk mengatur Hukum Pertanahan di
seluruh wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1960 (Lembaran
Negara tahun 1960 No.104) telah menentukan, bahwa tanah-tanah diseluruh wilayah
Negara Republik Indonesia, harus didaftarkan atau diinventarisasikan. Pada Pasal
19 ayat (1) UUPA berbunyi: ”Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Peraturan Pemerintah yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal 19 UUPA tersebut adalah Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1961 (LN. 1961-28) tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti
dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 (Lembaran Negara No. 59 Tahun
1997) tentang pendaftaran tanah .
Seiring dengan meningkatnya
kemajuan ekonomi, dan meningkatnya kebutuhan akan tanah, mendorong makin
bertambahnya tanah rakyat yang tersangkut dalam kegiatan ekonomi, di samping
meningkatnya jumlah penduduk dan volume pembangunan, permintaan tanah yang luas
dan berkualitas baik, semakin besar, sementara tanah semakin sulit didapat,
terutama di kota-kota besar. Permasalahan yang menimbulkan keresahan di dalam
masyarakat antara lain bersumber dari harga tanah yang semakin meningkat,
percaloan tanah, maupun campur tangan oknum-oknum agraria di luar wewenangnya.
Disisi lain adanya suatu
penomena bahwa kegiatan jual beli, sewa menyewa, pemberian kredit, gadai,
bahkan juga timbulnya hubungan hukum dengan orang atau badan hukum lainnya,
memerlukan suatu jaminan kepastian hukum dan kepastian hak dalam bidang
agraria, kondisi ini mengundang perlunya penyelenggaraan pendaftaran tanah,
sehingga pihak-pihak yang bersangkutan
dengan mudah dapat mengetahui status dan atau kedudukan hukum
daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas, dan batas-batasnya,
siapa yang empunya, dan beban-beban apa yang ada diatasnya.
Menyangkut kepekaan masalah tanah
terutama yang terdapat didaerah pedesaan, dimana tingkat kesejahteraan
penduduknya relatif miskin maupun masih kurangnya kesadaran hukum masyarakat,
dalam hal pendaftaran tanah, sementara dilain pihak menyangkut kenyataan selama
ini agraria bersifat pasif, menunggu kehadiran dari anggota masyarakat untuk
mendaftarkan tanahnya, sehingga dengan cara demikian pemohon sertipikat menjadi
berjalan sangat lambat.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut,
Badan Pertanahan Nasional, mengeluarkan kebijakan khususnya dalam memperlancar
kegiatan-kegiatan pendaftaran tanah, terutama menyangkut mengenai biaya, yang
realisasinya adalah dalam pelaksanaan PRONA, yaitu dengan dikeluarkannya
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981.
Pensertipikatan secara massal melalui
PRONA merupakan salah satu kegiatan pembangunan pertanahan yang dapat tanggapan
positif dari masyarakat. Selama ini plaksanaan kegiatan pendaftaran tanah dalam
5 dekade,yang dimulai pada Tahun 1961 baru mampu melaksanakan tanah sebanyak 34
juta bidang dari 85 juta bidang.
Kegiatan ini adalah
merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah yang antara lain berupa
usaha peningkatan pelayanan kepada masyarakat melalui kegiatan pensertipikatan
tanah secara massal. Dalam rangka pelaksanaannya, pendaftaran tanah dilakukan dengan
berbagai kegiatan antara lain : pelaksanaan pembukuan, pendaftaran dan
pemindahan hak atas tanah. Didalam pemindahan hak atas tanah, peraturan
perundang-undangan menetapkan bahwa penyelenggaraannya dilakukan oleh pejabat
khusus yaitu “Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT)”1.
Pelaksanaan PRONA di
Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, mungkin berbeda dengan daerah lainnya,
karena mengingat bahwa masing-masing daerah tentunya memiliki kualitas sumber
daya manusia, sarana dan fasilitas yang berbeda, disamping kondisi geografis
maupun adat-istiadat yang beraneka ragam, dimana hal ini akan sangat
berpengaruh pada hasil yang akan dicapai.
Keberhasilan suatu proyek
juga sangat ditentukan dalam segi perencanaan dan anggaran disamping dukungan
dari semua pihak, sehingga efektivitas pelaksanaan PRONA dapat berjalan secara
maksimal. Berdasarkan uraian
tersebut penulis terdorong untuk menulis tentang Proyek Nasional Agraria
(PRONA).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
efektivitas pelaksanaan Proyek Nasional Agraria (PRONA) di Kantor Pertanahan
Kabupaten Beleleng?
2.
Bagaimana
akibat hukum terhadap pelaksanaan Proyek Nasional Agraria (PRONA) di Kabupaten
Buleleng?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Berkaitan dengan latar belakang masalah
dan rumusan masalah, penulis fokus menggambarkan tentang efektivitas pelaksanaan
program nasional agraria dikantor pertanahan kabupaten buleleng serta akibat
hukum terhadap progaram nasional (prona) di Kabupaten Buleleng.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah
diatas,maka tujuan yang dapat dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui dan
menganalisa tentang efektivitas pelaksanaan Proyek
Nasional Agraria (PRONA) di Kantor Pertanahan Kabupaten Beleleng.
2.
Untuk mengetahui dan
menganalisa tentang akibat hukum terhadap pelaksanaan
proyek nasional agraria.
1.5 Manfaat penelitian
Berdasarkan fokus kajian dan
kajian peneliti, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran yang berharga dalam pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum pertanahan tentang upaya yang diambil oleh kantor
pertanahan kabupaten buleleng tentang efektivitas pelaksanaan program agraria
(prona) serta akibat hukum terhadap program tersebut.
2. Manfaat peraktis.
a.
Bagi peneliti merupakan
salah satu syarat dalam usaha memperoleh gelar sarjana hukum di program studi
ilmu hukum fakultas hukum Universitas Panji Sakti Singaraja. Selain itu sebagai
pembelajaran mahasiswa khususnya dalam bidang penelitian hukum, sehingga
penulis memiliki kemampuan yang lebih b9*aik untuk meneliti permasalahan-permasalahan hukum yang
terjadi di masyarakat,selain itu untuk mengetahui pelaksanaan PRONA serta
akibat hukum yamg akan ditimbulkan dalam program tersebut.
b.
Bagi instansi
terkait,seperti Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng,hasil penelitian ini
diharapkan menjadi masukan yang berarti dan berguna dalam melaksanakan
tugasnya.
c.
Bagi masyarakat luas
pada umumnya,hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan untuk menambah
wawasan dalam bidang hukum dan meningkatkan kesadaran hukum tentang pentingnya
sertipikat bagi pemiliknya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1
KAJIAN PUSTAKA
Berkenaan dengan masalah
PRONA, maka disini perlu dijelaskan pengertian sertipikat, dimana yang dimaksud
dengan sertipikat adalah surat yang merupakan tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah. Sertipikat ini
diterbitkan oleh Direktorat Badan Pertanahan Kabupaten atau Kota dimana letak
tanah itu. Kepemilikan atas sertipikat ini bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum dan kepastian hak atas tanah didalam rangka memperoleh alat pembuktian
yang kuat tentang sahnya pembuatan hukum mengenai tanah.
Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA)
yang dilaksanakan di Kabupaten Buleleng, merupakan salah satu bentuk pelaksanaan atau
penterapan hukum, dalam hal ini berupa peraturan perundang-undangan yang
dituangkan melalui suatu Keputusan Mendagri No. 189 Tahun 1981, yang merupakan
landasan hukum dalam pelaksanaan Proyek Operasi Nasional Agraria.
PRONA yang merupakan proyek mengenai
pensertipikatan tanah secara massal adalah suatu proyek di Lingkungan Badan
Pertanahan Nasional untuk melaksanakan kegiatan pensertipikatan tanah secara
massal pada lokasi yang ditetapkan. Didalam mencapai keberhasilannya, maka suatu proyek yaitu
proyek pertanahan harus memperhatikan masalah-masalah yang mungkin dapat
timbul, termasuk dalam bidang perencanaan dan anggaran maupun faktor penunjang
lainnya, seperti sosialisasi PRONA, penentuan lokasi PRONA maupun dalam hal
biaya operasionalnya.
Pelaksanaan PRONA harus dapat
memperhatikan secara seksama mengenai dasar permulaan dari penyelenggaraan
pendaftaran tanah, meliputi kegiatan-kegiatan mengenai pengukuran dan pemetaan
tanah-tanah serta pendaftaran haknya untuk pertama kali. Kedua mengenai
pemeliharaannya meliputi perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, baik
yang mengenai tanahnya
(terjadi pemisahan atau
penggabungan), haknya maupun pihak yang mempunyainya2
.
2.1.1 Pengertian pendaftaran tanah
Istilah Pendaftaran tanah berasal dari
kata “Cadastre’’ dalam bahasa Belanda
merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas nilai dan
kepemilikan ( atau lain-lain atas hak). Sedangkan Cadastre berasal dari bahasa
latin’’Capistratum’’ yang berarti
suatu register atau capitan atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi
(Capotation terrens). Dengan demikian , Cadastre merupakan alat yang tepat yang
memberikan uraian dan identifikasi dari tersebut dan juga sebagai Continuous Recording ( rekaman yang berkesinambungan
)dari hak atas tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah terdiri atas
kegiatan pendaftaraan tanah untuk pertama kali, bentuk kegiatannya adalah
pengumpulan dan pengolahan data fisik; pembuktian hak dan pembuktiannya,
penerbitan sertipikat,penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan
daftar umum dan dokumen dan kegiatan
pemeliharaan data pendaftaran tanah, bentuk kegiatannya adalah pendaftaran
perubahan dan pendaftaran tanah lainnya. Pendaftaran tanah menghasilkan dua
macam ,yaitu data fisik dan data yuridis. Data fisik adalah kerangka mengenai
letak,batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang
didaftar,termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan
diatasnya. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah
dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang hak dan pihak lain serta
beban-beban yang membebaninya.
2.1.2
Pengertian Proyek Operasi Nasional
Agraria
Sehubungan dengan perkembangan masyarakat dalam kehidupan
masyarakat, persoalan yang timbul adalah bahwa tanah bagi orang Indonesia
merupakan masalah yang paling
pokok. Hal ini dapat juga kita
kaitkan dengan banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan ke pengadilan
yang berkaitan dengan tanah. Boleh dikatakan 90% dari perkara waris menyangkut
soal tanah dan rumah, belum lagi dihitung perkara hutang piutang dimana tanah
menjadi jaminan utang, serta perkara penganiayaan atau perbuatan melawan hukum
yang bermula pada sengketa tanah.
Dari banyaknya
perkara-perkara yang menyangkut tanah dapat dilihat bahwa tanah merupakan
kebutuhan atau masalah sentral dalam kehidupan dan perekonomian yang bersifat
agraris[1].
Kondisi yang
demikian inilah yang dikhawatirkan oleh pihak pemerintah umumnya masyarakat
yang bersangkutan, maka untuk menghindari hal tersebut yaitu dengan Proyek
Operasi Nasional Agraria ini diharapkan keadaan yang demikian itu dapat diatasi
dan terealisasi dengan baik. Pada dasarnya Proyek Operasi Nasional Agraria
ditekankan kepada ekonomi lemah, sehingga bagi masyarakat yang tidak atau kurang
mampu mereka dibebaskan oleh Undang-undang untuk tidak dibebani dengan biaya
(pasal 14 ayat 1 Undang-undang Pokok Agraria).
Pelaksanaan
proyek ini diselenggarakan setiap tahun anggaran yang dilakukan di seluruh
Kabupaten/Kota di Indonesia, namun penyebaran secara merata di seluruh
Kabupaten maupun desa-desa belum dapat dilaksanakan seluruhnya di setiap tahun
anggaran, disebabkan karena faktor anggaran, sehingga pelaksanaannya dialihkan
ke tempat atau lokasi kecamatan lain, sedangkan kerja Proyek Operasi Nasional
Agraria (PRONA) meliputi pensertipikatan tanah massal, memberikan
penyuluhan-penyuluhan hukum agraria, dan menginventarisasikan sengketa-sengketa
tanah, untuk nantinya dicarikan solusi untuk penyelesaiannya.[2]
PRONA merupakan suatu kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang
dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, khususnya untuk memperlancar kegiatan
pendaftaran transaksi yang merupakan kegiatan yang amat menonjol dalam
pelaksanaan PRONA disamping ada kegiatan-kegiatan lain, seperti penyelesaian
sengketa-sengketa tanah yang sifatnya strategis dan kegiatan-kegiatan
penyuluhan pertanahan.
Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal, tidak mesti merupakan
bagian dari kegiatan PRONA di mana kegiatan ini bisa dilakukan secara terpisah
atau merupakan kegiatan mandiri, artinya kegiatan tersebut tidak didasarkan kepada ketentuan dan hukum yang mengatur
tentang PRONA, melainkan tetap didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah. PRONA ini juga tidak dimaksudkan
untuk menggantikan tata cara perolehan
sertipikat hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997, sesuai dengan namanya, yaitu Proyek, maka PRONA sebenarnya bersifat
temporer saja, hal ini dimaksudkan apabila masyarakat telah benar-benar tinggi
kesadaran hukumnya, diharapkan mereka tanpa ada PRONA pun akan berinisiatif
untuk mensertipikatkan tanahnya.
Untuk lebih
jelasnya bahwa selama berlangsungnya PRONA, dikenal berbagai cara
pensertipikatan tanah di Indonesia.
1.
Tanah-tanah
yang pemilikan atau penguasaannya dipunyai oleh golongan ekonomi kuat di luar
proyek PRONA, diselesaikan melalui tata cara sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, beserta peraturan pelaksanaannya.
2.
Pensertipikatan
tanah secara massal dalam rangka PRONA bagi tanah-tanah yang dimiliki atau
dikuasai oleh golongan ekonomi lemah diatur dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 189 Tahun 1981, dan biaya operasionalnya diberi subsidi dengan
anggaran Pemerintah melalui APBN dan Pemerintah Daerah melalui APBD.
3.
Pensertipikatan
tanah secara massal dalam rangka PRONA bagi tanah-tanah yang dimiliki atau
dikuasai oleh golongan mampu diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
189 Th. 1981 Jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 266 Th. 1982, dan
pembiayaan operasionalnya dibebankan kepada swadaya para anggota masyarakat
yang menerima sertipikat hak tanah.
4.
Pensertipikatan
tanah dalam rangka PRONA bagi tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh badan
hukum keagamaan, badan hukum sosial dan lembaga pendidikan diatur dengan
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982.
Dalam praktek, untuk
memudahkan penyebutan maka tata cara perolehan sertipikat hak atas tanah
seagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 beserta peraturan
pelaksanaannya ini disebut sebagai tata cara rutin atau tata cara biasa,
sedangkan untuk tata cara perolehannya sertipikat hak tanah secara massal,
golongan mampu maupun untuk Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum Sosial, dan
Lembaga Pendidikan disebut tata cara PRONA[3].
Dengan demikian,
maka yang dimaksud dengan PRONA adalah suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh
pemerintah di bidang pertahanan pada umumnya dan dibidang pendaftaran
tanah pada khususnya, yang berupa
pensertipikatan tanah secara massal dan penyelesaian-penyelesaian
sengketa-sengketa tanah yang sifatnya strategis[4].Menurut
penjelasan dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Buleleng, bahwa yang
dimaksud dengan PRONA adalah Proyek di lingkungan Badan Pertanahan Nasional yang melaksanakan kegitan
pensertipikatan tanah secara massal pada lokasi yang ditetapkan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun
1981 dalam hal menimbang disebutkan :
a.
bahwa
dalam rangka pelaksanaan Catur Tertib di bidang Pertanahan sebagaimana digariskan
dalam Repelita III, Pemerintah bertekad untuk melaksanakan suatu program
pensertipikatan tanah secara massal, untuk memberikan jaminan kepastian hukum
bagi penguasaan dan pemilikan tanah sebagai tanda bukti yang kuat;
b.
bahwa
disamping pemerintah melaksanakan program tersebut di atas, dilaksanakan pula
program penyelesaian sengketa tanah, untuk memberikan ketentraman bagi
penguasaan dan pemilikan tanah;
c.
bahwa
pelaksanaan program tersebut secara terpadu serta dikaitkan dengan pelaksanaan
mekanisme fungsi Agraria dalam konteks Cyclus Agraria, terutama dimaksudkan
agar dapat mengurangi kerawanan/kepekaan di bidang pertanahan, sebagai suatu
usaha untuk menciptakan stabilitas di bidang pertanahan di kalangan masyarakat;
d.
bahwa
untuk itu perlu dibentuk suatu Proyek Operasi Nasional Agraria yang akan
melaksanakan tugas-tugas sebagai dimaksud di atas.
Jadi jelaslah bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut
yang dimaksud dengan PRONA adalah suatu proyek dari Pemerintah yang bersifat
Nasional yang bertugas untuk membantu pemerintah dalam hal untuk menciptakan
penertiban pemilikan hak atas tanah dengan jalan memberikan sertipikat secara
khusus kepada golongan otonomi lemah dengan jalan menimbulkan kesadaran hukum
masyarakat di bidang pertanahan di satu pihak dan menyelesaikan
sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis di lain pihak disamping
memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan sebagai tanda bukti
yang kuat atas kepemilikan tanah, serta memberikan ketentraman bagi penguasaan
dan pemilikan tanah maupun menciptakan stabilitas sosial politik di kalangan
masyarakat.
2.1.3 Dasar Hukum Dari Pelaksanaan Proyek Operasi Nasional
Agraria
Pembicaraan tentang PRONA ini sengaja ditekankan dari
sudut pandangan hukum. Maka berkenaan dengan itu sebelum melangkah lebih jauh,
perlu diutarakan terlebih dahulu mengenai dasar hukum diadakannya PRONA
tersebut. Pentingnya hal itu adalah mengingat sistim Pemerintahan Negara
Indonesia yang ditegaskan dalam UUD 1945, antara lain menyebutkan:
1.
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka.
2.
Pemerintahan berdasarkan atas Sistim
Konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang terbatas).
Dimana mengenai ketentuan-ketentuan
tersebut mengandung suatu pengertian bahwa kebijaksanaan pemerintah termasuk
pula kebijaksanaan di bidang Pertanahan (Agraria) haru ada dasar hukumnya dalam
artian hukum yang berlaku (hukum positif)[5].
Ketentuan hukum positif yang merupakan
dasar-dasar hukum yang mengatur bidang pertanahan, dalam hal pelaksanaan PRONA
ini, pertama tama adalah: Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi : “Bumi, air
dan kekayaan alam yang ada didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pasal ini merupakan dasar dan sumber
bagi pembentukan Undang-undang yakni UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA), dalam rangka
mewujudkan Hukum Agraria Nasional selanjutnya karena UUPA hanya mengatur
soal-soal pokok dalam garis-garis besarnya saja, maka untuk pelaksanaan lebih
lanjut dilengkapi dengan berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri dan sebagainya.
Setelah beberapa tahun kemudian
keluarkan beberapa perundang-undangan yang mengatur masalah di bidang
Pertanahan, dengan mulai diberlakukannya
Proyek Operasi Nasional Pertanahan,
yakni pada tanggal 15 Agustus 1981 yang disertai dengan beberapa Peraturan
Perundang-undangan.
Pada tanggal 15 Agustus 1981 yang merupakan awal diaturnya tentang PRONA
dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981. Pada bagian
Konsideran telah disebutkan mengenai Peraturan Perundang-undangan yang
dijadikan dasar atau landasan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri
tersebut, yakni: UU No. 5 Tahun 1960 (LN. 1960-104) tentang Peraturan
Dasar-Dasar Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (LN. 1961-28)
tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah
no. 24 Tahun 1997 (LN. 59-1997) tentang Pendaftaran tanah, beserta petunjuk
pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 yaitu Peraturan Menagria No. 3 Tahun 1997, Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1979 tentang Repelita
1983, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 72 Tahun 1987, Keputusan Menteri Dalam
Negeri No.133 Tahun 1978 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 1979.
Adapun keseluruhan isi atau materi dari
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981 itu adalah:
Pertama
: Membentuk Proyek Operasi Nasional
Agraria/Pertanahan dalam lingkungan Direktorat Jenderal Agraria Departemen
Dalam Negeri.
Kedua :
Proyek tersebut dalam diktum pertama
bertugas:
a. Memproses pensertipikatan
tanah secara massal sebagai perwujudan daripada Program Catur Tertib di Bidang
Pertanahan, yang pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dan ditujukan bagi
segenap lapisan masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah.
b. Menyelesaikan secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang bersifat
strategis.
Ketiga : Penentuan Lokasi Proyek sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua
huruf a yang diadakan semua Kabupaten/Kotamadya seluruh Indonesia dan
ditetapkan secara berkelompok.
Keempat
: Untuk melaksanakan tugas proyek sebagaimana dimaksud dalam diktum
kedua huruf a diatas, dipergunakan:
a. Aparat Agraris secara struktural baik tingkat pusat maupun tingkat daerah
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 72 Tahun 1981 jo. No. 133 Tahun 1978.
b. Kepala Kecamatan, Kepala
Desa dan mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat/Agama setempat untuk membantu
melaksanakan proyek ini.
Kelima :
Untuk melaksanakan tugas proyek
sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua huruf b tersebut di atas dipergunakan
Aparat/Media tersebut dalam diktum keempat, dapat pula menggunakan Team Khusus
Agraria sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun
1979.
Keenam : a. Para Gubernur/Bupati/Wali Kotamadya dan Kepala Daerah secara
taktis operasional bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek ini untuk
daerahnya masing-masing.
b. Bimbingan
dan pembinaan teknis serta pengawasan pelaksanaan proyek dipertanggung jawabkan
kepada Direktur Jenderal Agraria.
Ketujuh :
Semua biaya dipergunakan untuk
pelaksanaan proyek ini dibebankan kepada Anggaran Belanja Direktorat Jenderal
Agraria Departemen Dalam Negeri dan Yayasan Dana Landreform.
Kedelapan : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan
Setelah
dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981, sebagai
tindak lanjut dari keputusan itu, dikeluarkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri
No.220 Tahun 1981 yang dikeluarkan pada tanggal 25 September 1981. Keputusan
Menteri Dalam Negeri No. 220 Tahun 1981 ini mengatur tentang besarnya pungutan
biaya dalam rangka pemberian sertipikat hak tanah yang berasal dari pemberian
hak atas tanah negara, penegasan Hak Tanah Adat dan Konversi Bekas Hak Tanah
Adat yang menjadi obyek PRONA.
Pada Konsideran
bagian menimbang dari Keputusan Menteri Dalam Negeri itu antara lain disebutkan
:
a.
…………. maka perlu diadakan penetapan biaya yang ringan
terhadap pemberian hak-hak atas tanah negara maupun penegasan tanah-tanah hak
adat yang dijadikan lokasi/obyek Proyek Operasi Nasional Pertanahan/Agraria.
b.
………….. diadakan penyimpangan terhadap peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 1 Tahun 1975 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 96 Tahun
1975.
Berkenaan dengan
pertimbangan-pertimbangan di atas, maka diaturlah secara terperinci mengenai
biaya-biaya yang dikenakan kepada setiap pemohon sertipikat hak tanah.
Dan pada bagian
akhir dari Keputusan Menteri Dalam Negeri ini ditegaskan bahwa
pungutan-pungutan lain di luar ketentuan yang diatur di dalam peraturan ini,
yang selama ini selalu dikaitkan dengan permohonan hak/sertipikat atas tanah,
dilarang dikenakan pemungutannya pada pensertipikatan tanah, yang menjadi obyek
PRONA Agraria/Pertanahan.
Selain
peraturan-peraturan tersebut di atas, dikeluarkan pula Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 266 Tahun 1982 yang mengatur tentang besarnya pungutan biaya dalam
rangka pemberian sertipikat hak atas tanah bagi golongan mampu yang menjadi
obyek PRONA. Keputusan Menteri Dalam Negeri ini dikeluarkan dan mulai berlaku
pada tanggal 14 September 1982.
Seperti telah
dikemukakan di depan bahwa PRONA dalam perkembangannya tidak hanya ditujukan
untuk golongan ekonomi lemah saja tetapi juga untuk golongan mampu. Sehubungan
dengan hal tersebut maka diperlukan peraturan-peraturan tersendiri yang
mengatur tentang biaya yang harus dikenakan kepada golongan mampu ini.
Begitupun pada
tahun 1982 dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang mengatur masalah
PRONA, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982, tertanggal 3
Desember 1982, yang mengatur tentang “Pensertipikatan Tanah bagi Badan Hukum
Keagamaan, Badan Hukum Sosial dan Lembaga Pendidikan yang menjadi obyek
PRONA.
Dalam hal ini
berarti memperkenankan dan menjadikan obyek PRONA atas tanah-tanah yang
dipunyai oleh Badan Hukum Keagamaan. Badan Hukum Sosial dan Lembaga Pendidikan.
Peraturan-peraturan
tersebut di atas selanjutnya telah diperlengkapi dengan peraturan perundangan
yang lain dalam bentuk Keputusan Menteri ataupun bentuk peraturan perundangan
lainnya
2.1.4 Tujuan Hukum Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA)
Proyek Operasi
Nasional Agraria pada pokoknya mempunyai tujuan tidak lepas dari tujuan yang
dimiliki oleh UUPA. Yakni sesuai dengan yang dinyatakan dalam Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) :
a. Peletakan dasar-dasar bagi
penyusunan Hukum Agraria Nasional yang akan merupakan alat untuk membawa
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat. Terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk
memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Dimana dalam
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981 menyatakan bahwa Proyek
Operasi Nasional (PRONA) sebagai salah satu bentuk kebijaksanaan di bidang
Pertanahan wajib didasarkan pada UUPA dan berhubungan dengan kedudukan UUPA
sebagai sumber hukum Pertanahan/Agraria Nasional, maka pengaturan PRONA tidak
boleh sekali-kali menyimpang dari semangat dan jiwa yang terkandung di dalam
UUPA.[6]
Dalam hal ini
tujuan dari Proyek Operasi Nasional Pertanahan adalah untuk menumbuhkan
kesadaran hukum masyarakat dalam bidang pertanahan sebagai usaha untuk
berpartisipasi dalam menciptakan stabilitas sosial politik serta pembangunan di
bidang ekonomi.
Di samping
itu dinyatakan bahwa tujuan PRONA tersebut adalah untuk dapat menciptakan
ketentraman bagi para pemilik tanah dalam pemilikan dan penggunaan tanah serta
meningkatkan kesadaran kepada masyarakat agar para pemilik tanah yang belum
mempunyai sertipikat tergerak untuk mengajukan permohonan sertipikat.
Jadi dengan
PRONA ini pemerintah memberikan rangsangan kepada pemegang hak atas tanah agar
mau mensertipikatkan tanahnya dan berusaha membantu menyelesaikan
sebaik-baiknya sengketa-sengketa yang sifatnya strategis dengan jalan
diberikannya berbagai fasilitas dan kemudahan.
2.1.5 Syarat-Syarat Pensertipikatan
Tanah Melalui PRONA
Secara obyektif harus diakui
bahwa tata cara pengurusan pensertipikatan tanah masih birokratis,
berbelit-belit dan sulit dipahami oleh orang awam. Dalam hal ini PRONA sebagai
jalan pintas untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di dalam memperoleh
sertipikat hak atas tanahnya, dapat dinilai cukup berhasil selama ini. Sedangkan
keaktifan dari aparat pelaksana yang mau bekerja keras dan langsung terjun ke
pelosok-pelosok desa yang merupakan salah satu faktor keberhasilan dari PRONA
dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana telah diketahui
bahwa tata cara memperoleh sertipikat dalam kegiatan Proyek Operasi Nasional
Pertanahan ini tidak berbeda dengan tata cara memperoleh sertipikat tanah
menurut acara biasa, yaitu yang bersumber dan mendasarkan diri pada
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 beserta
peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan Peraturan Perundangan
tersebut, bila seseorang hendak mendapatkan Sertipikat Tanah, maka melalui
tahap-tahap dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sebagaimana diuraikan
dibawah ini.[7]
Pemohon sertipikat hak tanah
dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, dan masing-masing diharuskan untuk
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Syarat dari masing-masing golongan tersebut yaitu:
a.
Penerima
Hak, yaitu para penerima hak atas tanah Negara berdasarkan Surat Keputusan
Pemberian Hak yang dikeluarkan oleh Pemerintah Cq. Direktur Jenderal Pertanahan
atau Pejabat yang ditunjuk. Dan bagi pemohon ini, diharuskan
melengkapi diri dengan persyaratan yang berupa:
1. Surat Keputusan pemberian hak atas
tanah yang bersangkutan (asli).
2. Tanda lunas pembayaran uang pemasukan
yang besarnya telah ditentukan dalam Surat Keputusan Pemberian hak Atas Tanah
tersebut.
b. Para ahli waris,
yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat
ataupun hak-hak yang lain. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon
itu adalah:
1.
Surat Tanda Bukti Hak Atas Tanah,
yangberupa sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
2.
Bila tanah yang bersangkutan belum
pernah disertipikatkan, maka harus disertakan Surat Tanda Bukti Hak Atas Tanah
lainnya, seperti Surat Pajak Hasil
Bumi/Petok D Lama/perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat
pemberian hak dari instansi yang berwenang.
a)
Surat Keterangan Kepala Desa yang
dikuatkan Camat yang membenarkan Surat tanda Bukti hak tersebut.
b)
Surat
Keterangan Waris dari Instansi yang berwenang.
c)
Surat
Pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
d)
Turunan
Surat Keterangan Warga Negara Indonesia yang disahkan oleh Pejabat yang
berwenang.
e)
Keterangan
Didalam ketentuan-ketentuan di bidang pertanahan telah
dinyatakan bahwa Pensertipikatan Massal
adalah merupakan bagian dari Proyek Operasi Nasional Pertanahan. Di mana
PRONA Pertanahan ini berkaitan dengan program pemerintah didalam melaksanakan
Catur Tertib Pertanahan, yaitu:
1.
Tertib
Administrasi Pertanahan
2.
Tertib
Penggunaan Tanah
3.
Tertib
Hukum Pertanahan
4.
Tertib
Lingkungan Hidup dan Pemeliharaan Pertanahan.
Maka dengan Pensertipikatan
Massal ini haruslah dapat sekaligus menyempurnakan dan menyeragamkan
administrasi pertanahan kita. Oleh karena itu melalui petunjuk pelaksanaan
teknis pendaftaran tanah yang akan digunakan dalam pensertipikatan massal itu
telah ditetapkan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
terlaksananya pensertipikatan massal yang dilaksanakan melalui PRONA Mengenai
persyaratan tersebut akan meliputi beberapa hal yang telah ditentukan sesuai
dengan Obyek Pensertipikatan yang sedang diselenggarakan.
Dalam penentuan dari Obyek Pensertipikatan ini harus memenuhi
beberapa persyaratan antara lain:
1.
Diutamakan desa-desa yang sudah ada
peta-peta situasinya, seperti:
a.
Sudah
ada peta photo
b.
Sudah ada peta yang dibuat berdasarkan
desa demi desa
c.
Sudah
ada peta situasi dalam rangka pembuatan sertipikat
2. Bila di suatu Kabupaten/Kotamadya
belum ada desa yang mempunyai peta situasi berdasarkan pengukuran desa demi
desa, maka dipilih desa pada daerah yang mempunyai peta dari instansi lain atau
peta lain yang akan memudahkan gambar situasi[8].
3. Hindarkanlah daerah-daerah yang
terlalu banyak sengketa, yang mungkin tak dapat diselenggarakan dengan segera. Hindarkan
pula persil-persil yang diperkirakan dalam sengketa yang berlarut-larutnya
Untuk
menentukan apakah daerah tersebut terkena Proyek Operasi Nasional Pertanahan,
maka syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
1.
Penentuan Lokasi Proyek untuk wilayah
Kabupaten/Kota harus dikaitkan dengan ruang lingkup proyek (dalam
melaksanakan proyek ini, pembagian kerja tetap dilakukan secara fungsional
sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, agar dengan demikian tetap terjamin
adanya kebenaran formal dan materiil
atau pelaksanaan proyek ini sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku), dengan urutan prioritas sebagai berikut:
a. Ditetapkan secara berkelompok
terutama untuk pensertipikatan tanah di daerah-daerah yang penguasaan atau
pemilikan tanahnya terkena ketentuan Landreform, baik yang ditujukan
tanah-tanah yang masih menjadi bekas pemilik lama maupun telah
diredistribusikan kepada para penggarap.
b. Ditetapkan secara berkelompok untuk
daerah-daerah penerima transmigran Pra Pelita atau daerah Resettlement.
c. Ditetapkan di daerah yang tanahnya
mempunyai potensi produksi bahan pokok yang cukup untuk dikembangkan.
d. Ditetapkan secara berkelompok untuk
pensertipikatan tanah yang berpenduduk padat dan mempunyai potensi yang cukup
besar untuk dikembangkan.
e. Dipilih lokasi mengenai tanah-tanah
sengketa yang bersifat strategis dan dapat diselesaikan secara tuntas.
2. Tiap-tiap kabupaten/kota supaya
ditetapkan lokasi proyek di daerah masing-masing, dan harus dapat menerbitkan
sertipikat tanah sebanyak-banyaknya.
3.
Dengan
penentuan lokasi pensertipikatan massal sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan
2 tersebut di atas sudah barang tentu
1.
Sosialiasi ,seluruh jajaran kementrian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional memberikan informasi akan
dilaksanakannya pensertipikatan secara massal kepada masyarakat secara langsung
maupun melalui media.
2.
Penetapan lokasi ditetapkan dengan
memperhatikan ketersediaan peta kerja,dan kemampuan optimal panitia dan satgas.
3.
Penyuluhan,didalam penyuluhan ini
disampaikan tahap kegiatan pendaftaran tanah secara massal dan penjelasan
tentang pembiayaan yang di sediakan pemerintah melalui PRONA,yang dilakukan
oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng.
4.
Pengumpulan data yuridis seperti halnya
mendokumentasikan hasil inventarisasi/pengumpulan data yuridis.
5.
Pengolahan data yuridis dan pembuktian
hak,dimana data yuridis yang sudah diinventarisisasi/terkumpul dilakukan
analisis oleh panitia menyangkut data kepemilikan yang menunjukkan hubungan
hukum antara peserta prona dengan tanah
obyek prona.
6.
Pemeriksaan tanah dilakukan untuk
memastikan keterangan yang tertuang di dalam data yuridis sesuai dengan keadaan
dilapangan.
7.
Pengumuman,hasil pemeriksaan tanah yang
menyimpulkan dapat dibukukan atau diterbitkan sertipikat hak atas tanah atas
satu bidang tanah,diumumkan dalam papan pengumuman di Kantor Pertanahan
dan/atau Kantor Desa lokasi bidang tanah tersebut.
8.
Pengesahan,hasil dari pengumuman
disahkan dalam berita acara hasil pengumuman oleh panitia pendaftaran tanah.
9.
Penerbitan dan penyerahan sertipikat,
panitia ajudikasi bidang yuridis mencetak dan mnyiapkan sertipikat hak atas
tanah.Kepala Kantor Pertanahan menandatangani sertipikat hak atas tanah, dan
menyerahkan seripikat hak atas tanah kepada pemegang hak atau kuasanya dengan mencatatnya dalam daftar isian
penerahan sertipika
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian hukum empiris. Ciri-ciri dari suatu penelitian hukum empiris adalah sebagai berikut:
a. Adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori dengan dunia realita,
kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan/atau adanya situasi
ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan akademik;
b. Umumnya menggunakan
hipotesis;
c. Menggunakan landasan
teoritis dan kerangka berpikir;
d. Menggunakan data primer dan
data skunder, dimana data skunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
skunder dan bahan hukum tersier;
Data primer dan
data skunder kontribusinya sama pentingnya dalam penelitian yang sedang
dikerjakan. Dalam hal ini tidak ada data yang satu lebih unggul dari data yang
lain atau berkedudukan sebagai data utama sedangkan data yang lain sebagai data
penunjang, melainkan kedua jenis data tersebut memiliki kontribusi yang sama
pentingnya.
1.2
Sifat Penelitian
Penelitian hukum
empiris yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian empiris
yang sifatnya deskriptif.
Dalam penelitian
deskriptif pada umumnya bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara
suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat, sehingga masyarakat
memahami dan mengerti apa yang peneliti lakukan didalam penelitian ini.
3.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilakukan di Kabupaten Buleleng di
Kantor Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng.
3.4 Sumber dan Jenis
Data
Dari pendekatan
masalah yaitu yuridis sosiologis, maka peneliti dapat menentukan dari mana
sumber data tersebut diperoleh, yaitu melalui penelitian lapangan dan studi
kepustakaan. Dalam penelitian ini akan diperoleh data primer dan data sekunder
yang sesuai dengan fokus permasalahan.
Penelitian
lapangan akan diperoleh data primer, yaitu suatu data yang diperoleh langsung
dari sumber pertama di lapangan. Dalam penelitian kepustakaan diperoleh data
sekunder yaitu berupa bahan-bahan hukum (primer, sekunder, tersier). Data
sekunder yang dimanfaatkan dalam penelitian ini dipergunakan untuk memperjelas
data primer.
3.5 Teknik
Pengumpulan Data
Dalam penelitian
hukum empiris ini untuk mendapatkan data yang akurat adalah dengan cara
mengumpulkan data yaitu : wawancara, observasi, penyebaran quisioner/angket,
dan studi kepustakaan.
a.
Teknik Wawancara
Wawancara
merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam
penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar
bertanya kepada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang
dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan permasalahan
penelitian kepada responden maupun informan.
Teknik wawancara
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara bebas terpimpin,
yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan terpimpin, yaitu suatu wawancara
yang menggunakan pedoman tentang garis-garis besar terhadap hal-hal yang akan
dipertanyakan kepada informan dan responden secara tertulis tetapi dalam proses
tanya jawab terjadi pengembangan-pengembangan pertanyaan yang masih ada
kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.
b.
Teknik Observasi/Pengamatan
Teknik observasi
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu teknik observasi langsung, dan teknik
obsevasi tidak langsung. Dalam penelitian ini peneliti memakai teknik observasi
langsung dimana teknik observasi langsung ini adalah teknik pengumpulan data
dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung tanpa alat terhadap
gejala-gejala subyek yang diselidiki, baik pengamatan dilakukan dalam situasi
yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan.
c.
Teknik Penyebaran Quisioner/Angket
Dalam penelitian
hukum empiris ini umumnya menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara
menyebarkan quisioner.
d.
Teknik Studi Kepustakaan/studi
dokumentasi
Dalam penelitian
ini digunakan teknik studi kepustakaan/studi dokumentasi. Teknik seperti ini
diterapkan melalui membaca, menelaah, mengklasifikasikan, mengidentifikasi, dan
memahami bahan-bahan hukum dan literatur-literatur yaitu buku pendaftaran dan
peralihan hak atas tanah, buku hukum agraria, dan berupa buku lainnya.
3.6 Pengolahan Data Dan Analisis Data
Analisis data adalah
mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian
dasar sehingga dapat ditemukan sesuai masalah penelitian Data dianalisis secara
kualitatif, dengan alur pengolahan data
sebagai berikut: data dikumpulkan kemudian disusun secara sistematis,
direduksi, dipaparkan secara sistematis, dan ditarik simpulan sebagai jawaban
atas permasalahan
2 Effendi Perangin, 1999 Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 102.
[1]
Sundarjati Harsono,1979 Beberapa
Pemikiran Ke Arah Pembaharuan Hukum Tanah, Alumni, Bandung, hal. 8.
[2]
Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi PRONA sebagai Pelaksana
Mekanisme Fungsi Agraria, Ghalia Indonesia, hal. 56.
[3] Ibid,
hal. 9-10
[4] BPN,Penyuluhan PRONA di Kabupaten Buleleng
Tahun 2016
[5] Sudjito, PRONA, Pensertipikatan
Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang Bersifat Strategis,
Liberty, Yogyakarta, hal. 23.
[6] Peranan Agraria Dalam
Pembangunan,Departemen Dalam Negri,hal.10.
[7] Haryanto,T. 1991, Cara Mendapatkan
Sertipikat Hak Milik Atas,Usaha Nasional Surabaya,hal.6
[8] Pendaftaran Tanah Dalam Pensertipikatan Massal, Dirjen
Direktorat Agraria, Jakarta, 4 September,hal 1-2
Komentar
Posting Komentar