efektivitas pelaksanaan Proyek Nasional Agraria (PRONA) di Kantor Pertanahan Kabupaten Beleleng



Bagi negara agraris, seperti halnya negara Indonesia, tanah merupakan barang yang amat vital. Setiap kegiatan yang dilakukan di negara itu, baik oleh seorang warga negara perorangan, sekelompok orang, suatu badan hukum ataupun oleh Pemerintah pasti melibatkan soal tanah. Dengan tanah dan di atas tanah itu semua kegiatan dilakukan oleh Bangsa Indonesia.
Di dalam amandemen IV Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Jadi jelaslah bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sangat penting sekali di dalam menunjang pembangunan nasional yaitu untuk membangun masyarakat yang kehidupannya bercorak agraris. 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Bagi negara agraris, seperti halnya negara Indonesia, tanah merupakan barang yang amat vital. Setiap kegiatan yang dilakukan di negara itu, baik oleh seorang warga negara perorangan, sekelompok orang, suatu badan hukum ataupun oleh Pemerintah pasti melibatkan soal tanah. Dengan tanah dan di atas tanah itu semua kegiatan dilakukan oleh Bangsa Indonesia.
Di dalam amandemen IV Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Jadi jelaslah bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sangat penting sekali di dalam menunjang pembangunan nasional yaitu untuk membangun masyarakat yang kehidupannya bercorak agraris.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka disusunlah Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) untuk mengatur Hukum Pertanahan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1960 (Lembaran Negara tahun 1960 No.104) telah menentukan, bahwa tanah-tanah diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia, harus didaftarkan atau diinventarisasikan. Pada Pasal 19 ayat (1) UUPA berbunyi: ”Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal 19 UUPA tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (LN. 1961-28) tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 (Lembaran Negara No. 59 Tahun 1997) tentang pendaftaran tanah .
Seiring dengan meningkatnya kemajuan ekonomi, dan meningkatnya kebutuhan akan tanah, mendorong makin bertambahnya tanah rakyat yang tersangkut dalam kegiatan ekonomi, di samping meningkatnya jumlah penduduk dan volume pembangunan, permintaan tanah yang luas dan berkualitas baik, semakin besar, sementara tanah semakin sulit didapat, terutama di kota-kota besar. Permasalahan yang menimbulkan keresahan di dalam masyarakat antara lain bersumber dari harga tanah yang semakin meningkat, percaloan tanah, maupun campur tangan oknum-oknum agraria di luar wewenangnya.
Disisi lain adanya suatu penomena bahwa kegiatan jual beli, sewa menyewa, pemberian kredit, gadai, bahkan juga timbulnya hubungan hukum dengan orang atau badan hukum lainnya, memerlukan suatu jaminan kepastian hukum dan kepastian hak dalam bidang agraria, kondisi ini mengundang perlunya penyelenggaraan pendaftaran tanah, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan
dengan mudah dapat mengetahui status dan atau kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas, dan batas-batasnya, siapa yang empunya, dan beban-beban apa yang ada diatasnya.
Menyangkut kepekaan masalah tanah terutama yang terdapat didaerah pedesaan, dimana tingkat kesejahteraan penduduknya relatif miskin maupun masih kurangnya kesadaran hukum masyarakat, dalam hal pendaftaran tanah, sementara dilain pihak menyangkut kenyataan selama ini agraria bersifat pasif, menunggu kehadiran dari anggota masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya, sehingga dengan cara demikian pemohon sertipikat menjadi berjalan sangat lambat.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Badan Pertanahan Nasional, mengeluarkan kebijakan khususnya dalam memperlancar kegiatan-kegiatan pendaftaran tanah, terutama menyangkut mengenai biaya, yang realisasinya adalah dalam pelaksanaan PRONA, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981.
Pensertipikatan secara massal melalui PRONA merupakan salah satu kegiatan pembangunan pertanahan yang dapat tanggapan positif dari masyarakat. Selama ini plaksanaan kegiatan pendaftaran tanah dalam 5 dekade,yang dimulai pada Tahun 1961 baru mampu melaksanakan tanah sebanyak 34 juta bidang dari 85 juta bidang.
Kegiatan ini adalah merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah yang antara lain berupa usaha peningkatan pelayanan kepada masyarakat melalui kegiatan pensertipikatan tanah secara massal. Dalam rangka pelaksanaannya, pendaftaran tanah dilakukan dengan berbagai kegiatan antara lain : pelaksanaan pembukuan, pendaftaran dan pemindahan hak atas tanah. Didalam pemindahan hak atas tanah, peraturan perundang-undangan menetapkan bahwa penyelenggaraannya dilakukan oleh pejabat khusus yaitu “Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT)”1.
Pelaksanaan PRONA di Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, mungkin berbeda dengan daerah lainnya, karena mengingat bahwa masing-masing daerah tentunya memiliki kualitas sumber daya manusia, sarana dan fasilitas yang berbeda, disamping kondisi geografis maupun adat-istiadat yang beraneka ragam, dimana hal ini akan sangat berpengaruh pada hasil yang akan dicapai.
Keberhasilan suatu proyek juga sangat ditentukan dalam segi perencanaan dan anggaran disamping dukungan dari semua pihak, sehingga efektivitas pelaksanaan PRONA dapat berjalan secara maksimal. Berdasarkan uraian tersebut penulis terdorong untuk menulis tentang Proyek Nasional Agraria (PRONA).
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana efektivitas pelaksanaan Proyek Nasional Agraria (PRONA) di Kantor Pertanahan Kabupaten Beleleng?
2.      Bagaimana akibat hukum terhadap pelaksanaan Proyek Nasional Agraria (PRONA) di Kabupaten Buleleng?
1.3   Ruang Lingkup Masalah
Berkaitan dengan latar belakang masalah dan rumusan masalah, penulis fokus menggambarkan tentang efektivitas pelaksanaan program nasional agraria dikantor pertanahan kabupaten buleleng serta akibat hukum terhadap progaram nasional (prona) di Kabupaten Buleleng.
1.4   Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas,maka tujuan yang dapat dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui dan menganalisa tentang efektivitas pelaksanaan Proyek Nasional Agraria (PRONA) di Kantor Pertanahan Kabupaten Beleleng.
2.      Untuk mengetahui dan menganalisa tentang akibat hukum terhadap pelaksanaan proyek nasional agraria.
1.5   Manfaat penelitian
Berdasarkan fokus kajian dan kajian peneliti, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.      Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran yang berharga dalam pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pertanahan tentang upaya yang diambil oleh kantor pertanahan kabupaten buleleng tentang efektivitas pelaksanaan program agraria (prona) serta akibat hukum terhadap program tersebut.
2.      Manfaat peraktis.
a.       Bagi peneliti merupakan salah satu syarat dalam usaha memperoleh gelar sarjana hukum di program studi ilmu hukum fakultas hukum Universitas Panji Sakti Singaraja. Selain itu sebagai pembelajaran mahasiswa khususnya dalam bidang penelitian hukum, sehingga penulis memiliki kemampuan yang lebih b9*aik untuk meneliti permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat,selain itu untuk mengetahui pelaksanaan PRONA serta akibat hukum yamg akan ditimbulkan dalam program tersebut.
b.      Bagi instansi terkait,seperti Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng,hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan yang berarti dan berguna dalam melaksanakan tugasnya.
c.       Bagi masyarakat luas pada umumnya,hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan untuk menambah wawasan dalam bidang hukum dan meningkatkan kesadaran hukum tentang pentingnya sertipikat bagi pemiliknya.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1           KAJIAN PUSTAKA
Berkenaan dengan masalah PRONA, maka disini perlu dijelaskan pengertian sertipikat, dimana yang dimaksud dengan sertipikat adalah surat yang merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah. Sertipikat ini diterbitkan oleh Direktorat Badan Pertanahan Kabupaten atau Kota dimana letak tanah itu. Kepemilikan atas sertipikat ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah didalam rangka memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya pembuatan hukum mengenai tanah.
Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) yang dilaksanakan di Kabupaten Buleleng, merupakan salah satu bentuk pelaksanaan atau penterapan hukum, dalam hal ini berupa peraturan perundang-undangan yang dituangkan melalui suatu Keputusan Mendagri No. 189 Tahun 1981, yang merupakan landasan hukum dalam pelaksanaan Proyek Operasi Nasional Agraria.
PRONA yang merupakan proyek mengenai pensertipikatan tanah secara massal adalah suatu proyek di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan kegiatan pensertipikatan tanah secara massal pada lokasi yang ditetapkan. Didalam mencapai keberhasilannya, maka suatu proyek yaitu proyek pertanahan harus memperhatikan masalah-masalah yang mungkin dapat timbul, termasuk dalam bidang perencanaan dan anggaran maupun faktor penunjang lainnya, seperti sosialisasi PRONA, penentuan lokasi PRONA maupun dalam hal biaya operasionalnya.
Pelaksanaan PRONA harus dapat memperhatikan secara seksama mengenai dasar permulaan dari penyelenggaraan pendaftaran tanah, meliputi kegiatan-kegiatan mengenai pengukuran dan pemetaan tanah-tanah serta pendaftaran haknya untuk pertama kali. Kedua mengenai pemeliharaannya meliputi perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, baik yang  mengenai  tanahnya  (terjadi  pemisahan  atau  penggabungan), haknya maupun pihak yang mempunyainya2 .
2.1.1 Pengertian pendaftaran tanah
Istilah Pendaftaran tanah berasal dari kata “Cadastre’’ dalam bahasa Belanda merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas nilai dan kepemilikan ( atau lain-lain atas hak). Sedangkan Cadastre berasal dari bahasa latin’’Capistratum’’ yang berarti suatu register atau capitan atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotation terrens). Dengan demikian , Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari tersebut dan juga sebagai Continuous Recording ( rekaman yang berkesinambungan )dari hak atas tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah terdiri atas kegiatan pendaftaraan tanah untuk pertama kali, bentuk kegiatannya adalah pengumpulan dan pengolahan data fisik; pembuktian hak dan pembuktiannya, penerbitan sertipikat,penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum  dan dokumen dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, bentuk kegiatannya adalah pendaftaran perubahan dan pendaftaran tanah lainnya. Pendaftaran tanah menghasilkan dua macam ,yaitu data fisik dan data yuridis. Data fisik adalah kerangka mengenai letak,batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar,termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang hak dan pihak lain serta beban-beban yang membebaninya.
2.1.2                  Pengertian Proyek Operasi Nasional Agraria
Sehubungan dengan perkembangan masyarakat dalam kehidupan masyarakat, persoalan yang timbul adalah bahwa tanah bagi orang Indonesia merupakan masalah yang paling  pokok.  Hal ini dapat juga kita kaitkan dengan banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan ke pengadilan yang berkaitan dengan tanah. Boleh dikatakan 90% dari perkara waris menyangkut soal tanah dan rumah, belum lagi dihitung perkara hutang piutang dimana tanah menjadi jaminan utang, serta perkara penganiayaan atau perbuatan melawan hukum yang bermula pada sengketa tanah.
Dari banyaknya perkara-perkara yang menyangkut tanah dapat dilihat bahwa tanah merupakan kebutuhan atau masalah sentral dalam kehidupan dan perekonomian yang bersifat agraris[1].
Kondisi yang demikian inilah yang dikhawatirkan oleh pihak pemerintah umumnya masyarakat yang bersangkutan, maka untuk menghindari hal tersebut yaitu dengan Proyek Operasi Nasional Agraria ini diharapkan keadaan yang demikian itu dapat diatasi dan terealisasi dengan baik. Pada dasarnya Proyek Operasi Nasional Agraria ditekankan kepada ekonomi lemah, sehingga bagi masyarakat yang tidak atau kurang mampu mereka dibebaskan oleh Undang-undang untuk tidak dibebani dengan biaya (pasal 14 ayat 1 Undang-undang Pokok Agraria).
Pelaksanaan proyek ini diselenggarakan setiap tahun anggaran yang dilakukan di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, namun penyebaran secara merata di seluruh Kabupaten maupun desa-desa belum dapat dilaksanakan seluruhnya di setiap tahun anggaran, disebabkan karena faktor anggaran, sehingga pelaksanaannya dialihkan ke tempat atau lokasi kecamatan lain, sedangkan kerja Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) meliputi pensertipikatan tanah massal, memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum agraria, dan menginventarisasikan sengketa-sengketa tanah, untuk nantinya dicarikan solusi untuk penyelesaiannya.[2]
PRONA merupakan suatu kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, khususnya untuk memperlancar kegiatan pendaftaran transaksi yang merupakan kegiatan yang amat menonjol dalam pelaksanaan PRONA disamping ada kegiatan-kegiatan lain, seperti penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang sifatnya strategis dan kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanahan.
Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal, tidak mesti merupakan bagian dari kegiatan PRONA di mana kegiatan ini bisa dilakukan secara terpisah atau merupakan kegiatan mandiri, artinya kegiatan tersebut tidak didasarkan  kepada ketentuan dan hukum yang mengatur tentang PRONA, melainkan tetap didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah. PRONA ini juga tidak dimaksudkan untuk  menggantikan tata cara perolehan sertipikat hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, sesuai dengan namanya, yaitu Proyek, maka PRONA sebenarnya bersifat temporer saja, hal ini dimaksudkan apabila masyarakat telah benar-benar tinggi kesadaran hukumnya, diharapkan mereka tanpa ada PRONA pun akan berinisiatif untuk mensertipikatkan tanahnya.
Untuk lebih jelasnya bahwa selama berlangsungnya PRONA, dikenal berbagai cara pensertipikatan tanah di Indonesia.
1.    Tanah-tanah yang pemilikan atau penguasaannya dipunyai oleh golongan ekonomi kuat di luar proyek PRONA, diselesaikan melalui tata cara sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, beserta peraturan pelaksanaannya.
2.    Pensertipikatan tanah secara massal dalam rangka PRONA bagi tanah-tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh golongan ekonomi lemah diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981, dan biaya operasionalnya diberi subsidi dengan anggaran Pemerintah melalui APBN dan Pemerintah Daerah melalui APBD.
3.    Pensertipikatan tanah secara massal dalam rangka PRONA bagi tanah-tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh golongan mampu diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Th. 1981 Jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 266 Th. 1982, dan pembiayaan operasionalnya dibebankan kepada swadaya para anggota masyarakat yang menerima sertipikat hak tanah.
4.    Pensertipikatan tanah dalam rangka PRONA bagi tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh badan hukum keagamaan, badan hukum sosial dan lembaga pendidikan diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982.
            Dalam praktek, untuk memudahkan penyebutan maka tata cara perolehan sertipikat hak atas tanah seagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 beserta peraturan pelaksanaannya ini disebut sebagai tata cara rutin atau tata cara biasa, sedangkan untuk tata cara perolehannya sertipikat hak tanah secara massal, golongan mampu maupun untuk Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum Sosial, dan Lembaga Pendidikan disebut tata cara PRONA[3].
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan PRONA adalah suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah di bidang pertahanan pada umumnya dan dibidang pendaftaran tanah  pada khususnya, yang berupa pensertipikatan tanah secara massal dan penyelesaian-penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang sifatnya strategis[4].Menurut penjelasan dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Buleleng, bahwa yang dimaksud dengan PRONA adalah Proyek di lingkungan Badan Pertanahan Nasional yang melaksanakan kegitan pensertipikatan tanah secara massal pada lokasi yang ditetapkan.
            Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981 dalam hal menimbang disebutkan :
a.           bahwa dalam rangka pelaksanaan Catur Tertib di bidang Pertanahan sebagaimana digariskan dalam Repelita III, Pemerintah bertekad untuk melaksanakan suatu program pensertipikatan tanah secara massal, untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi penguasaan dan pemilikan tanah sebagai tanda bukti yang kuat;
b.          bahwa disamping pemerintah melaksanakan program tersebut di atas, dilaksanakan pula program penyelesaian sengketa tanah, untuk memberikan ketentraman bagi penguasaan dan pemilikan tanah;
c.           bahwa pelaksanaan program tersebut secara terpadu serta dikaitkan dengan pelaksanaan mekanisme fungsi Agraria dalam konteks Cyclus Agraria, terutama dimaksudkan agar dapat mengurangi kerawanan/kepekaan di bidang pertanahan, sebagai suatu usaha untuk menciptakan stabilitas di bidang pertanahan di kalangan masyarakat;
d.          bahwa untuk itu perlu dibentuk suatu Proyek Operasi Nasional Agraria yang akan melaksanakan tugas-tugas sebagai dimaksud di atas.
            Jadi jelaslah bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut yang dimaksud dengan PRONA adalah suatu proyek dari Pemerintah yang bersifat Nasional yang bertugas untuk membantu pemerintah dalam hal untuk menciptakan penertiban pemilikan hak atas tanah dengan jalan memberikan sertipikat secara khusus kepada golongan otonomi lemah dengan jalan menimbulkan kesadaran hukum masyarakat di bidang pertanahan di satu pihak dan menyelesaikan sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis di lain pihak disamping memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan sebagai tanda bukti yang kuat atas kepemilikan tanah, serta memberikan ketentraman bagi penguasaan dan pemilikan tanah maupun menciptakan stabilitas sosial politik di kalangan masyarakat.



2.1.3  Dasar Hukum Dari Pelaksanaan Proyek Operasi Nasional Agraria
Pembicaraan tentang PRONA ini sengaja ditekankan dari sudut pandangan hukum. Maka berkenaan dengan itu sebelum melangkah lebih jauh, perlu diutarakan terlebih dahulu mengenai dasar hukum diadakannya PRONA tersebut. Pentingnya hal itu adalah mengingat sistim Pemerintahan Negara Indonesia yang ditegaskan dalam UUD 1945, antara lain menyebutkan:
1.      Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka.
2.      Pemerintahan berdasarkan atas Sistim Konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang terbatas).
Dimana mengenai ketentuan-ketentuan tersebut mengandung suatu pengertian bahwa kebijaksanaan pemerintah termasuk pula kebijaksanaan di bidang Pertanahan (Agraria) haru ada dasar hukumnya dalam artian hukum yang berlaku (hukum positif)[5].
Ketentuan hukum positif yang merupakan dasar-dasar hukum yang mengatur bidang pertanahan, dalam hal pelaksanaan PRONA ini, pertama tama adalah: Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang ada didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pasal ini merupakan dasar dan sumber bagi pembentukan Undang-undang yakni UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA), dalam rangka mewujudkan Hukum Agraria Nasional selanjutnya karena UUPA hanya mengatur soal-soal pokok dalam garis-garis besarnya saja, maka untuk pelaksanaan lebih lanjut dilengkapi dengan berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan sebagainya.
Setelah beberapa tahun kemudian keluarkan beberapa perundang-undangan yang mengatur masalah di bidang Pertanahan, dengan mulai diberlakukannya
Proyek Operasi Nasional Pertanahan, yakni pada tanggal 15 Agustus 1981 yang disertai dengan beberapa Peraturan Perundang-undangan.
Pada tanggal 15 Agustus 1981 yang merupakan awal diaturnya tentang PRONA dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981. Pada bagian Konsideran telah disebutkan mengenai Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar atau landasan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, yakni: UU No. 5 Tahun 1960 (LN. 1960-104) tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (LN. 1961-28) tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah no. 24 Tahun 1997 (LN. 59-1997) tentang Pendaftaran tanah, beserta petunjuk pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 yaitu Peraturan Menagria No. 3 Tahun  1997, Keputusan  Presiden No. 7 Tahun 1979 tentang Repelita 1983, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 72 Tahun 1987, Keputusan Menteri Dalam Negeri No.133 Tahun 1978 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 1979.
Adapun keseluruhan isi atau materi dari Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981 itu adalah:
Pertama                    :   Membentuk Proyek Operasi Nasional Agraria/Pertanahan dalam lingkungan Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri.
Kedua                     :    Proyek tersebut dalam diktum pertama bertugas:
a.       Memproses pensertipikatan tanah secara massal sebagai perwujudan daripada Program Catur Tertib di Bidang Pertanahan, yang pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah.
b.      Menyelesaikan secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis.
Ketiga                     :    Penentuan Lokasi Proyek sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua huruf a yang diadakan semua Kabupaten/Kotamadya seluruh Indonesia dan ditetapkan secara berkelompok.
Keempat                  :    Untuk melaksanakan tugas proyek sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua huruf a diatas, dipergunakan:
a.       Aparat Agraris secara struktural baik tingkat pusat maupun tingkat daerah sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 72 Tahun 1981 jo. No. 133 Tahun 1978.
b.      Kepala Kecamatan, Kepala Desa dan mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat/Agama setempat untuk membantu melaksanakan proyek ini.
Kelima                     :    Untuk melaksanakan tugas proyek sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua huruf b tersebut di atas dipergunakan Aparat/Media tersebut dalam diktum keempat, dapat pula menggunakan Team Khusus Agraria sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 1979.
Keenam                    :    a.     Para Gubernur/Bupati/Wali Kotamadya dan Kepala Daerah secara taktis operasional bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek ini untuk daerahnya masing-masing.
                              b.    Bimbingan dan pembinaan teknis serta pengawasan pelaksanaan proyek dipertanggung jawabkan kepada Direktur Jenderal Agraria.
Ketujuh                   :    Semua biaya dipergunakan untuk pelaksanaan proyek ini dibebankan kepada Anggaran Belanja Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri dan Yayasan Dana Landreform.
Kedelapan                :    Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
Setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981, sebagai tindak lanjut dari keputusan itu, dikeluarkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri No.220 Tahun 1981 yang dikeluarkan pada tanggal 25 September 1981. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 220 Tahun 1981 ini mengatur tentang besarnya pungutan biaya dalam rangka pemberian sertipikat hak tanah yang berasal dari pemberian hak atas tanah negara, penegasan Hak Tanah Adat dan Konversi Bekas Hak Tanah Adat yang menjadi obyek PRONA.
Pada Konsideran bagian menimbang dari Keputusan Menteri Dalam Negeri itu antara lain disebutkan :
a.         …………. maka perlu diadakan penetapan biaya yang ringan terhadap pemberian hak-hak atas tanah negara maupun penegasan tanah-tanah hak adat yang dijadikan lokasi/obyek Proyek Operasi Nasional Pertanahan/Agraria.
b.        ………….. diadakan penyimpangan terhadap peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1975 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 96 Tahun 1975.
Berkenaan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka diaturlah secara terperinci mengenai biaya-biaya yang dikenakan kepada setiap pemohon sertipikat hak tanah.
Dan pada bagian akhir dari Keputusan Menteri Dalam Negeri ini ditegaskan bahwa pungutan-pungutan lain di luar ketentuan yang diatur di dalam peraturan ini, yang selama ini selalu dikaitkan dengan permohonan hak/sertipikat atas tanah, dilarang dikenakan pemungutannya pada pensertipikatan tanah, yang menjadi obyek PRONA Agraria/Pertanahan.
Selain peraturan-peraturan tersebut di atas, dikeluarkan pula Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 266 Tahun 1982 yang mengatur tentang besarnya pungutan biaya dalam rangka pemberian sertipikat hak atas tanah bagi golongan mampu yang menjadi obyek PRONA. Keputusan Menteri Dalam Negeri ini dikeluarkan dan mulai berlaku pada tanggal 14 September 1982.
Seperti telah dikemukakan di depan bahwa PRONA dalam perkembangannya tidak hanya ditujukan untuk golongan ekonomi lemah saja tetapi juga untuk golongan mampu. Sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan peraturan-peraturan tersendiri yang mengatur tentang biaya yang harus dikenakan kepada golongan mampu ini.  
Begitupun pada tahun 1982 dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang mengatur masalah PRONA, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982, tertanggal 3 Desember 1982, yang mengatur tentang “Pensertipikatan Tanah bagi Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum Sosial dan Lembaga Pendidikan yang menjadi obyek PRONA. 
Dalam hal ini berarti memperkenankan dan menjadikan obyek PRONA atas tanah-tanah yang dipunyai oleh Badan Hukum Keagamaan. Badan Hukum Sosial dan Lembaga Pendidikan.
Peraturan-peraturan tersebut di atas selanjutnya telah diperlengkapi dengan peraturan perundangan yang lain dalam bentuk Keputusan Menteri ataupun bentuk peraturan perundangan lainnya




2.1.4  Tujuan Hukum Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA)
Proyek Operasi Nasional Agraria pada pokoknya mempunyai tujuan tidak lepas dari tujuan yang dimiliki oleh UUPA. Yakni sesuai dengan yang dinyatakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) :
a.       Peletakan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat. Terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
b.      Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c.       Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Dimana dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981 menyatakan bahwa Proyek Operasi Nasional (PRONA) sebagai salah satu bentuk kebijaksanaan di bidang Pertanahan wajib didasarkan pada UUPA dan berhubungan dengan kedudukan UUPA sebagai sumber hukum Pertanahan/Agraria Nasional, maka pengaturan PRONA tidak boleh sekali-kali menyimpang dari semangat dan jiwa yang terkandung di dalam UUPA.[6]
Dalam hal ini tujuan dari Proyek Operasi Nasional Pertanahan adalah untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bidang pertanahan sebagai usaha untuk berpartisipasi dalam menciptakan stabilitas sosial politik serta pembangunan di bidang ekonomi.
Di samping itu dinyatakan bahwa tujuan PRONA tersebut adalah untuk dapat menciptakan ketentraman bagi para pemilik tanah dalam pemilikan dan penggunaan tanah serta meningkatkan kesadaran kepada masyarakat agar para pemilik tanah yang belum mempunyai sertipikat tergerak untuk mengajukan permohonan sertipikat.
Jadi dengan PRONA ini pemerintah memberikan rangsangan kepada pemegang hak atas tanah agar mau mensertipikatkan tanahnya dan berusaha membantu menyelesaikan sebaik-baiknya sengketa-sengketa yang sifatnya strategis dengan jalan diberikannya berbagai fasilitas dan kemudahan.
2.1.5  Syarat-Syarat Pensertipikatan Tanah Melalui PRONA
Secara obyektif harus diakui bahwa tata cara pengurusan pensertipikatan tanah masih birokratis, berbelit-belit dan sulit dipahami oleh orang awam. Dalam hal ini PRONA sebagai jalan pintas untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di dalam memperoleh sertipikat hak atas tanahnya, dapat dinilai cukup berhasil selama ini. Sedangkan keaktifan dari aparat pelaksana yang mau bekerja keras dan langsung terjun ke pelosok-pelosok desa yang merupakan salah satu faktor keberhasilan dari PRONA dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana telah diketahui bahwa tata cara memperoleh sertipikat dalam kegiatan Proyek Operasi Nasional Pertanahan ini tidak berbeda dengan tata cara memperoleh sertipikat tanah menurut acara biasa, yaitu yang bersumber dan mendasarkan diri pada ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan Peraturan Perundangan tersebut, bila seseorang hendak mendapatkan Sertipikat Tanah, maka melalui tahap-tahap dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sebagaimana diuraikan dibawah ini.[7]
Pemohon sertipikat hak tanah dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, dan masing-masing diharuskan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Syarat dari masing-masing golongan tersebut yaitu:
a.       Penerima Hak, yaitu para penerima hak atas tanah Negara berdasarkan Surat Keputusan Pemberian Hak yang dikeluarkan oleh Pemerintah Cq. Direktur Jenderal Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk. Dan bagi pemohon ini, diharuskan melengkapi diri dengan persyaratan yang berupa:
1.      Surat Keputusan pemberian hak atas tanah yang bersangkutan (asli).
2.      Tanda lunas pembayaran uang pemasukan yang besarnya telah ditentukan dalam Surat Keputusan Pemberian hak Atas Tanah tersebut.
b.      Para ahli waris, yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat ataupun hak-hak yang lain. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon itu adalah:
1.      Surat Tanda Bukti Hak Atas Tanah, yangberupa sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
2.      Bila tanah yang bersangkutan belum pernah disertipikatkan, maka harus disertakan Surat Tanda Bukti Hak Atas Tanah lainnya, seperti Surat Pajak  Hasil Bumi/Petok D Lama/perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat pemberian hak dari instansi yang berwenang.
a)      Surat Keterangan Kepala Desa yang dikuatkan Camat yang membenarkan Surat tanda Bukti hak tersebut.
b)      Surat Keterangan Waris dari Instansi yang berwenang.
c)      Surat Pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
d)     Turunan Surat Keterangan Warga Negara Indonesia yang disahkan oleh Pejabat yang berwenang.
e)      Keterangan
Didalam ketentuan-ketentuan di bidang pertanahan telah dinyatakan bahwa Pensertipikatan Massal  adalah merupakan bagian dari Proyek Operasi Nasional Pertanahan. Di mana PRONA Pertanahan ini berkaitan dengan program pemerintah didalam melaksanakan Catur Tertib Pertanahan, yaitu:
1.      Tertib Administrasi Pertanahan
2.      Tertib Penggunaan Tanah
3.      Tertib Hukum Pertanahan
4.      Tertib Lingkungan Hidup dan Pemeliharaan Pertanahan.
Maka dengan Pensertipikatan Massal ini haruslah dapat sekaligus menyempurnakan dan menyeragamkan administrasi pertanahan kita. Oleh karena itu melalui petunjuk pelaksanaan teknis pendaftaran tanah yang akan digunakan dalam pensertipikatan massal itu telah ditetapkan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat terlaksananya pensertipikatan massal yang dilaksanakan  melalui PRONA Mengenai persyaratan tersebut akan meliputi beberapa hal yang telah ditentukan sesuai dengan Obyek Pensertipikatan yang sedang diselenggarakan.
Dalam penentuan dari Obyek Pensertipikatan ini harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
1.      Diutamakan desa-desa yang sudah ada peta-peta situasinya, seperti:
a.       Sudah ada peta photo
b.      Sudah ada peta yang dibuat berdasarkan desa demi desa
c.       Sudah ada peta situasi dalam rangka pembuatan sertipikat
2.      Bila di suatu Kabupaten/Kotamadya belum ada desa yang mempunyai peta situasi berdasarkan pengukuran desa demi desa, maka dipilih desa pada daerah yang mempunyai peta dari instansi lain atau peta lain yang akan memudahkan gambar situasi[8].
3.      Hindarkanlah daerah-daerah yang terlalu banyak sengketa, yang mungkin tak dapat diselenggarakan dengan segera. Hindarkan pula persil-persil yang diperkirakan dalam sengketa yang berlarut-larutnya
             Untuk menentukan apakah daerah tersebut terkena Proyek Operasi Nasional Pertanahan, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
1.      Penentuan Lokasi Proyek untuk wilayah Kabupaten/Kota harus dikaitkan    dengan ruang lingkup proyek (dalam melaksanakan proyek ini, pembagian kerja tetap dilakukan secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, agar dengan demikian tetap terjamin adanya  kebenaran formal dan materiil atau pelaksanaan proyek ini sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku), dengan urutan prioritas sebagai berikut:
a.       Ditetapkan secara berkelompok terutama untuk pensertipikatan tanah di daerah-daerah yang penguasaan atau pemilikan tanahnya terkena ketentuan Landreform, baik yang ditujukan tanah-tanah yang masih menjadi bekas pemilik lama maupun telah diredistribusikan kepada para penggarap.
b.      Ditetapkan secara berkelompok untuk daerah-daerah penerima transmigran Pra Pelita atau daerah Resettlement.
c.       Ditetapkan di daerah yang tanahnya mempunyai potensi produksi bahan pokok yang cukup untuk dikembangkan.
d.      Ditetapkan secara berkelompok untuk pensertipikatan tanah yang berpenduduk padat dan mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan.
e.       Dipilih lokasi mengenai tanah-tanah sengketa yang bersifat strategis dan dapat diselesaikan secara tuntas.
2.      Tiap-tiap kabupaten/kota supaya ditetapkan lokasi proyek di daerah masing-masing, dan harus dapat menerbitkan sertipikat tanah sebanyak-banyaknya.
3.      Dengan penentuan lokasi pensertipikatan massal sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas sudah barang tentu



1.      Sosialiasi ,seluruh jajaran kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional memberikan informasi akan dilaksanakannya pensertipikatan secara massal kepada masyarakat secara langsung maupun melalui media.
2.      Penetapan lokasi ditetapkan dengan memperhatikan ketersediaan peta kerja,dan kemampuan optimal panitia dan satgas.
3.      Penyuluhan,didalam penyuluhan ini disampaikan tahap kegiatan pendaftaran tanah secara massal dan penjelasan tentang pembiayaan yang di sediakan pemerintah melalui PRONA,yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng.
4.      Pengumpulan data yuridis seperti halnya mendokumentasikan hasil inventarisasi/pengumpulan data yuridis.
5.      Pengolahan data yuridis dan pembuktian hak,dimana data yuridis yang sudah diinventarisisasi/terkumpul dilakukan analisis oleh panitia menyangkut data kepemilikan yang menunjukkan hubungan hukum antara peserta prona  dengan tanah obyek prona.
6.      Pemeriksaan tanah dilakukan untuk memastikan keterangan yang tertuang di dalam data yuridis sesuai dengan keadaan dilapangan.
7.      Pengumuman,hasil pemeriksaan tanah yang menyimpulkan dapat dibukukan atau diterbitkan sertipikat hak atas tanah atas satu bidang tanah,diumumkan dalam papan pengumuman di Kantor Pertanahan dan/atau Kantor Desa lokasi bidang tanah tersebut.
8.      Pengesahan,hasil dari pengumuman disahkan dalam berita acara hasil pengumuman oleh panitia pendaftaran tanah.
9.      Penerbitan dan penyerahan sertipikat, panitia ajudikasi bidang yuridis mencetak dan mnyiapkan sertipikat hak atas tanah.Kepala Kantor Pertanahan menandatangani sertipikat hak atas tanah, dan menyerahkan seripikat hak atas tanah kepada pemegang hak atau kuasanya  dengan mencatatnya dalam daftar isian penerahan sertipika







BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Ciri-ciri dari suatu   penelitian hukum empiris adalah sebagai berikut:
a.       Adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori dengan dunia realita, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan/atau adanya situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan akademik;
b.      Umumnya menggunakan hipotesis;
c.       Menggunakan landasan teoritis dan kerangka berpikir;
d.      Menggunakan data primer dan data skunder, dimana data skunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier;
Data primer dan data skunder kontribusinya sama pentingnya dalam penelitian yang sedang dikerjakan. Dalam hal ini tidak ada data yang satu lebih unggul dari data yang lain atau berkedudukan sebagai data utama sedangkan data yang lain sebagai data penunjang, melainkan kedua jenis data tersebut memiliki kontribusi yang sama pentingnya.
1.2  Sifat Penelitian
Penelitian hukum empiris yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian empiris yang sifatnya deskriptif.
Dalam penelitian deskriptif pada umumnya bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat, sehingga masyarakat memahami dan mengerti apa yang peneliti lakukan didalam penelitian ini.
3.3 Lokasi Penelitian
      Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Buleleng di  Kantor Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng.
3.4  Sumber dan Jenis Data
Dari pendekatan masalah yaitu yuridis sosiologis, maka peneliti dapat menentukan dari mana sumber data tersebut diperoleh, yaitu melalui penelitian lapangan dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini akan diperoleh data primer dan data sekunder yang sesuai dengan fokus permasalahan.
Penelitian lapangan akan diperoleh data primer, yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan. Dalam penelitian kepustakaan diperoleh data sekunder yaitu berupa bahan-bahan hukum (primer, sekunder, tersier). Data sekunder yang dimanfaatkan dalam penelitian ini dipergunakan untuk memperjelas data primer.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum empiris ini untuk mendapatkan data yang akurat adalah dengan cara mengumpulkan data yaitu : wawancara, observasi, penyebaran quisioner/angket, dan studi kepustakaan.
a.         Teknik Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya kepada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan permasalahan penelitian kepada responden maupun informan.
Teknik wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan terpimpin, yaitu suatu wawancara yang menggunakan pedoman tentang garis-garis besar terhadap hal-hal yang akan dipertanyakan kepada informan dan responden secara tertulis tetapi dalam proses tanya jawab terjadi pengembangan-pengembangan pertanyaan yang masih ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.
b.        Teknik Observasi/Pengamatan
Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu teknik observasi langsung, dan teknik obsevasi tidak langsung. Dalam penelitian ini peneliti memakai teknik observasi langsung dimana teknik observasi langsung ini adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki, baik pengamatan dilakukan dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan.
c.         Teknik Penyebaran Quisioner/Angket
Dalam penelitian hukum empiris ini umumnya menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara menyebarkan quisioner.
d.        Teknik Studi Kepustakaan/studi dokumentasi
Dalam penelitian ini digunakan teknik studi kepustakaan/studi dokumentasi. Teknik seperti ini diterapkan melalui membaca, menelaah, mengklasifikasikan, mengidentifikasi, dan memahami bahan-bahan hukum dan literatur-literatur yaitu buku pendaftaran dan peralihan hak atas tanah, buku hukum agraria, dan berupa buku lainnya.
3.6 Pengolahan Data Dan Analisis Data
Analisis data adalah mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan sesuai masalah penelitian Data dianalisis secara kualitatif, dengan alur pengolahan data  sebagai berikut: data dikumpulkan kemudian disusun secara sistematis, direduksi, dipaparkan secara sistematis, dan ditarik simpulan sebagai jawaban atas permasalahan

           1  Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah, Peralihan Hak dan Sertifikat, Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, Malang, 1981, hal. 15
2 Effendi Perangin, 1999 Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 102.

[1] Sundarjati Harsono,1979 Beberapa Pemikiran Ke Arah Pembaharuan Hukum Tanah, Alumni, Bandung, hal. 8.

[2] Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi PRONA sebagai Pelaksana Mekanisme Fungsi Agraria, Ghalia Indonesia, hal. 56.
[3] Ibid, hal. 9-10
[4] BPN,Penyuluhan PRONA di Kabupaten Buleleng Tahun 2016
[5] Sudjito, PRONA, Pensertipikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang Bersifat Strategis, Liberty, Yogyakarta, hal. 23.


[6] Peranan Agraria Dalam Pembangunan,Departemen Dalam Negri,hal.10.
[7] Haryanto,T. 1991, Cara Mendapatkan Sertipikat Hak Milik Atas,Usaha Nasional Surabaya,hal.6
[8] Pendaftaran Tanah  Dalam Pensertipikatan Massal, Dirjen Direktorat Agraria, Jakarta, 4 September,hal 1-2

 

Komentar

Popular Posts

Jenis-Jenis Port beserta Penjelasan, Gambar, dan Fungsinya Pada Console Unit

Proposal Usaha Bengkel Las Dan Bubut “Sabadha Logam”

Drama : Liburan Ke Kebun Binatang